Tidak seperti Amerika Serikat yang memiliki pesawat kepresidenan tersohor Air Force One, Indonesia hanya memiliki pesawat kepresidenan yang cenderung biasa-biasa saja, tapi siapa yang mengira, pesawat kepresidenan RI menyimpan Sejarah dan kenangan unik bagi perjalanan bangsa ini.
Sewaktu indonesia berdiri dan memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sudah ada rencana membentuk sebuah moda transportasi udara kepresidenan yang cepat dan praktis -- mengingat wilayah Indonesia sangat luas dan berbentuk kepulauan. Usaha pertama yang dilakukan adalah memodifikasi beberapa pesawat pengebom peninggalan Jepang menjadi pesawat angkut kepresidenan dan pejabat negara. Sayangnya, pesawat tersebut hancur ketika Agresi Militer Belanda I berlangsung.
Usaha berikutnya adalah membeli pesawat angkut. pada akhir tahun 1948, pemerintah Indonesia membeli Douglas DC-3 Dakota Bernama "Seulawah" yang uangnya merupakan sumbangan dari saudagar Aceh. Direktorat Penerbangan Sipil AURI memberikan registrasi RI-001 pada pesawat tersebut sebagai identitas pesawat kepresidenan. Ironisnya, RI-001 tidak pernah tidak pernah sekalipun mengangkut Presiden Soekarno. yang sempat diterbangkan hanya Wakil Presiden MOahmmad Hatta untuk acara kunjungan ke wilayah Sumatera selama sebulan.
Bahkan setelah Agresi Militer Belanda II, RI-001 batal menjadi pesawat Kepresidenan. Meski demikian, pesawat ini menjadi modal bagi Indonesia dalam perjuangan melawan Belanda dengan membentuk pesawat charter bernama Indonesia Airways di Burma.
GARUDA, PANAM, DAN PELITA
Pesawat milik Garuda Indonesia pertama kali digunakan sebagai pesawat Kepresidenan pada saat Presiden Soekarno kembali ke Jakarta dari Yogyakarta, yakni pada 28 Desember 1949. Dan Pesawat yang digunakan pada waktu itu adalah DC-3 beregistrasi PK-DPD. Penerbangan bersejarah itu bahkan ditetapkan sebagai tanggal de facto kelahiran Garuda Indonesia Airways.
BJ Habibie (pengganti Soeharto), tidak pernah berkunjung ke luar negeri selama menjabat sebagai Menristek dan Wapres. ia kerap menggunakan bizjet Gulfstream G-IV yang disewa atas nama IPTN.
Presiden - presiden berikutnya. yakni Abdurachman Wahid, MegawatiSoekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono sering menggunakan Airbus A330-300 Garuda Indonesia ketika melakukan lawatan ke luar negeri. Untuk lawatan di dalam negeri, mereka menggunakan Boeing 737, mulai dari seri 300, 400, 500, hingga 800 NG.
Sejak era Soeharto, pemerintah juga mempercayakan transportasi kepresidenan kepada Pelita Air Service. Pesawat milik Pelita yang sering dipakai adalah Avro RJ-85 PK-PJJ bernama "Wamena". Pesawat lainnya, yakni BAe-146 dan Fokker F70, dikhususkan untuk mengangkut Menteri dan Pajabat Pemerintahan.
SKUADRON 17
Untuk penerbangan jarak jauh dan ke luar negeri, Skuadron 17 diperkuat oleh unit Boeing 707 beregistrasi A7002 dengan dengan perjanjian pinjam-pakai dari Pelita. Baru pada 1990, pesawat yang aslinya beregistrasi sipil PK-PJQ itu resmi dihibahkan kepada TNI-AU. Pada Juni 2001, ketika ditumpangi Presiden Abdurachman Wahid untuk kunjungan ke Sydney, pesawat tersebut mengalami kerusakan pada salah satu mesinnya dan mendarat darurat di Darwin. Kejadian tersebut menjadi pemberitahuan di media massa.
Saat ini, kekuatan pesawat fixed wing dari Skuadron 17 sama dengan kekuatan pada era 1980-an dengan tambahan dua unit Fokker F28 (A2802 dan A2803) yang merupakan hibahan dari Garuda pada tahun 1994. A-7002 dipensiunkan pada tahun 2003 dan dijual kepada Omega Air tiga tahun kemudian. Sebagai penggantinya, pada tahun 2005 TNI-AU membeli satu unit Boeing 737-200 beregistrasi A-7304 yang merupakan pesawat eks Bayu Air. Sangat disayangkan, saat ini Skuadron 17 tidak lagi memiliki satupun pesawat Kepresidenan untuk penerbangan jarak jauh.
HELIKOPTER KEPRESIDENAN
Karena kapasitasnya hanya cukup untuk satu penumpang, Hiller segera digantikan dengan Bell 47G (berkapasitas dua penumpang) dan Bell 47J-2E Ranger (tiga penumpang). Pada 1960 , armada helikopter kepresidenan bertambah dengan kehadiran satu unit Sikorsky S-58 berkapasitas 12 penumpang, hadiah dari presiden Kennedy. Tiga unit helikopter itu menjadi bagian dari unit Istana Kepresidenan yang dikelola oleh personel AURI sebelum nantinya diserahkan kepada Skuadron 17.
Pada periode 1970-1990-an, Indonesia tidak memiliki helikopter kepresidenan, dan hanya menyewa helikopter AS330 Puma dari Pelita jika diperlukan. Helikopter AS330 Puma milik Skuadron 8 TNI-AU juga pernah disewa. Tapi, lantaran Puma tidak nyaman untuk penerbangan VVIP, maka NAS 332 Super Puma buatan IPTN dipilih sebagai penggantinya pada 1990-an.
Di tahun 1993, Skuadron 17 menerima dua unit helikopter kepresidenan NAS 332 Super Puma (H-3321 dan H-3322) dari IPTN. Tujuh tahun kemudian, pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid, Skuadron 17 kembali menerima tida unit Super Puma (H-3301, H3202, dan H-3203) dari Aerospatie, Perancis.
Saat ini, jumlah helikopter kepresidenan di Skuadron 17 hanya tida unit karena dua Super Puma lainnya mengalami kecelakaan. H-3222 jatuh akibat rotor belakang lepas dari kedudukannya dan terpaksa mendarat darurat di persawahan di samping Pasar Ciamis, Jawab Barat, pada 24 April 1999. Sedangkan H-3301 jatuh di Dieng dalam perjalan ke Jakarta setelah melakukan latihan navigasi rutin pada 23 Desember 2005.
Diantara semua Presiden yang pernah memimpin negara ini, Soekarno terkenal sebagai presiden yang “tergila-gila” pada helikopter. Dengan segala kepraktisannya, tanpa perlu memikirkan pengamanan seperti saat melakukan perjalanan darat, ia dapat terbang dari Istana Merdeka menuju Kemayoran atau Halim Perdanakusuma saat ingin berkunjung ke luar negeri. Atau ketika liburan akhir pekan, dengan hanya berpakaian santai dan mengenakan sandal jepit, Soekarno sering menumpang helikopter untuk berkeliling di wilayah Bogor, atau terbang di wilayah Bogor dari Istana Bogor, atau terbang diwilayah Tampaksiring-Singaraja sat berlibur di Bali. Dan sebagai seorang arsitek, Soekarno jga sering terbang dengan helikopter di seputar Jakarta untuk mencari wilayah yang cocok bagi megaproyek, misalnya untuk Pebangunan Gelora Bung Karno.
Jika MD-11 PK-GIM menjadi saksi bisu lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan, maka helikopter Kepresidenan Sikorsky S-58 menjadi saksi bisu lengsernya Soekarno. Pada 11 Maret 1966, Soekarno menupang helikopter kepresidenan untuk meninggalkan Istana Merdeka yang saat dikepung oleh “tentara liar” (diketahui sebagai tentara RPKAD) menuju ke Istana Bogor. Sore harinya, Soekarno didatangi oleh Tiga Jenderal yang memintanya membuat surat yang kemudian disbut sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) itu menjadi tonggak runtuhnya kekuasaan Orde Lama dan di mulainya Orde Baru.
KONTROVERSI PESAWAT KEPRESIDENAN
pengadaan pesawat kepresidenan, dan anggaran yang disiapkan mencapai Rp.200 miliar untuk uang muka biaya leasing pesawat. Jika lancar, maka kemungkinan besar akan terealisasikan pada tahun 2011 ini.
Memang belum jelas pesawat apa yang akan dibeli, tapi kemungkinan besar adalah Boeing 737-800 NG dengan konsfigurasi VVIP/VIP 70 penumpang,. Masih belum jelas juga apakah pesawat itu akan diserahkan kepada pihak swasta (Pelita), maskapai (Garuda), atau militer (Skuadron 17). Meskipun demikian, terselip satu pertanyaan ? Kapan Presiden menggunakan produk dalam negeri ? Untuk penerbangan jarak pendek, pesawat CN235 buatan PT DI justru telah dipakai sebagai pesawat kepresidenan di Korea Selatan. Jika CN235 --- pengganti ideal Fokker F27 milik Skuadron 17 ----- ini tentunya menjadi simbol kebanggaan yang lebih nyata bagi rakyat indonesia.
0 komentar:
Post a Comment